Ada masanya kita merindukan teman-teman kita. Canda tawanya, curhatanya atau bahkan ejekanya. Konon semakin dekat kita, semakin jorok bahasa kita. Dan di sela-sela kejorokan itu kita saling bermesraan. Menertawakan kebodohan masing-masing, menertawakan nasib masing-masing. Ah, indahnya semua itu.
Andai waktu bisa berhenti di satu fase, maka fase bersama teman seperjuanganlah yang dinantikan. Beruntunglah mereka yang bisa tetap bersama sampai tua karena sebagian harus terpisah karena karir.
Kopi selalu menjadi saksi kisah semacam ini. Pertemanan yang manis dan pahit dijalani bersama. Menghadirkan cita rasa unik dan berbeda. Kenanganya abadi tersimpang di setiap sel yang diperkuat kafein itu.
Teman sejati akan ada saat dibutuhkan. Ia adalah lentera saat gelap kehidupan menerpa. Tanpa pamrih materi dan hanya bermotif cinta. Mereka yang datang di saat kita senang adalah biasa. Mereka yang bertahan di saat terburuk adalah sejati.
Kita pun harus demikian. Tidak hanya datang disaat teman senang. Harus juga ada disaat ia membutuhkan. Yang tidak kalah penting dari memiliki teman sejati adalah menjadi teman sejati. Kata orang siapa yang menanam ia yang menuai. Maka hanya menjadi teman sejati kita bisa mendapat teman sejati.
Secangkir kopi bisa menjadi teman sejati. Ya, ini memang hanya perumpamaan. Kopi tidak akan dapat menjadi teman. Tapi ia bisa menjadi sumber energi untuk beberapa masalah kita. Kenikmatanya mungkin tidak dapat menyelesaikan masalahmu. Setidaknya mengurangi bebanmu.
Menjadikan kopi sebagai teman sejati harus juga dipahami sebagai esensi. Bahwa teman tidak selamanya menghadirkan yang manis-manis saja. Kita juga harus rela dengan rasa pahit yang ia bawa juga. Dan jika kita sudah bisa menerima rasa pahit itu, maka rasa itulah kelak yang kita butuhkan.